Senin, 26 Juni 2017

Harap-harap Cemas: Shalat Ied perdana dengan Ken

Lebaran kali ini ada cerita tersendiri.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, saya membawa Ken untuk ikut shalat Ied di masjid dekat flat yang kami tinggali di Bristol. Awalnya, saya sempat khawatir apakah anak ini dapat behave dan tidak lari-larian selama shalat dan khotbah berlangsung. Namun karena beberapa minggu terakhir dia semakin manis jika diajak ke masjid, maka saya memutuskan untuk mengajaknya saat hari raya.
Kami sampai sekitar 15 menit sebelum shalat berlangsung. Saya sengaja tidak datang terlalu mepet karena ingin adanya conditioning terlebih dahulu dan juga mencari posisi dengan tetangga kami agar Ken sudah familiar dengan wajah-wajah di sekitarnya sehingga merasa lebih nyaman. Dan berhubung semenjak di Bristol salah satu video favoritnya Ken di Youtube adalah takbir raya, dia dapat sedikit-sedikit mengikuti ketika jamaah masjid ramai-ramai mengumandangkan takbir. Ayah senang anak pun senang. Alhamdulillaah, fase satu terlewati dengan mulus.
Shalat pun segera dimulai.
Awalnya, saya memutuskan untuk shalat sambil menggendong Ken. Namun di detik-detik terakhir, saya berubah pikiran. Pada umurnya yang hampir dua tahun ini, Ken sudah mulai mengembangkan sifat malu dan takutnya. Kalau sebelumnya dia tipe yang mau dengan siapa saja yang baru ditemui, sekarang agak lain. Dia seringkali memeluk saya ketika bertemu dengan wajah baru. Pelukan pun semakin erat kalau yang ditemuinya orang dengan postur besar ataupun wajah-wajah asing seperti orang dari Somalia atau Kuwait. Ketika beberapa kali shalat di masjid pun, dia jadi senang menempel di kaki saya dan tidak ke sana ke mari seperti 2-3 bulan sebelumnya. Maka dari itu saya memberanikan diri pula untuk melepasnya saat shalat Ied.
Rakaat pertama pun berlangsung. Ken pun diam nampak memerhatikan situasi yang seketika berubah dan senyap. Sayangnya hanya sesaat. Dia mulai berjalan mendekati arah rak di pojok masjid yang berisi qur'an dan kitab-kitab tafsir. Ya, mulai dari sini saja saya langsung tidak bisa fokus selama shalat Ied. Ampuni hamba-Mu ini ya Allah. Satu qur'an berukuran sedang dia keluarkan dan diletakkan di atas sajadah. Jaraknya memang tidak jauh dari posisi kami berdiri untuk shalat Tapi tidak mungkin kan saya jongkok untuk memungut qur'an dan menaruhnya kembali di tempatnya semula. Saya pun tetap diam mengikuti shalat sambil harap-harap cemas. Berharap Ken tidak melanjutkan perbuatannya lagi. Tetapi harapan tinggal lah harapan. Ken pun mulai melayangkan tangannya ke arah rak untuk mengambil satu kitab lagi. Hastagah.

Beruntung saja, di dekat saya ada anak yang usianya mungkin sekitar 5-7 tahun datang menghampiri Ken dan memungut qur'an yang tergeletak di sajadah dan mengembalikannya lagi ke dalam rak. Begitu kitab yang kedua dijatuhkan Ken pun, anak tersebut membantu mengembalikannya lagi ke tempat semula. Dari sini Ken mulai menghentikan aksinya dan nampak mencari-cari apa lagi yang bisa dia lakukan.

Fiiiuuuuh, saya bisa bernapas lega sedikit. Imam telah selesai membaca surat pendek dan bergegas untuk rukuk. Perasaan was-was saya ternyata masih terus berlanjut. Pada saat sujud, terdengar bunyi "CTEK CTEK" dan seketika suara imam melalui speaker tidak terdengar lagi.

Benar saja. KEN MEMATIKAN SOUND SYSTEM DI DALAM MASJID. OMG. :(

Saklarnya memang dekat sekali dengan rak buku yang jadi mainannya. Saya pun semakin pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa sambil berdiri mengikuti imam yang bangun dari sujudnya untuk masuk ke rakaat kedua. Mengetahui pengeras suara mati, para jamaah berinisiatif untuk mengencangkan takbir (saat lima kali takbir pada rakaat kedua) mengikuti imam supaya terdengar sampai shaf-shaf di belakang dan para jamaah perempuan di lantai atas dapat tetap mengikuti shalat Ied dengan baik. Imam pun saya perhatikan mengeraskan sekali suaranya saat membaca Al-fatihah agar seluruh jamaah di masjid dapat tetap mendengarkannya.

Saat surat pendek mulai dibacakan, tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri saklar sistem pengeras suara dan menyalakannya kembali. Siapakah dia? Ternyata yang datang untuk menyalakan sound system adalah imam masjid ini sendiri! Maksudnya bukan imam yang sedang memimpin shalat Ied loh. Tetapi salah satu imam tetap di masjid ini yang biasa memimpin shalat fardhu berjamaah sehari-hari. Setelah menghidupkannya kembali, dia langsung bergegas kembali ke shafnya di depan dan melanjutkan shalatnya yang tertinggal. Karena merasa dihampiri orang asing, Ken langsung bergegas memeluk kaki saya dan menempel terus mulai dari rukuk, sujud, hingga salam. Dan shalat Ied perdana dengan Ken pun berakhir dengan sukses (?).

Saat khotbah, Ken tetap tenang dengan bermain di dekat saya. Rahasianya karena saya membawakan dua mobil hot wheels kesayangannya dan baru memberikannya setelah shalat berakhir. Keberhasilan ini pun ditunjang karena anak yang tadi membantu Ken untuk mengembalikan qur'an ke raknya datang kembali dan ikut bermain dengan Ken. Sebenarnya sih, anak tersebut meminjam kedua mobilnya Ken yang baru saya keluarkan tersebut dan memainkannya dengan heboh sehingga Ken terpana dibuatnya dan dapat duduk dengan manis.

Khotbah tidak berlangsung terlalu lama. Sebelum beranjak pulang ke rumah, kami menyempatkan diri untuk bersalam-salaman dengan beberapa jamaah masjid yang saya kenali dan teman-teman mahasiswa Indonesia yang juga sedang kuliah di Bristol. Suasananya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Kami saling bersalaman dan berpelukan sambil mengucapkan "Eid Mubarok" dan "Taqaballahu minna wa minkum". Saya juga memutuskan untuk bersalaman dengan imam masjid yang tadi sempat menghentikan shalatnya untuk menyalakan kembali sound system.
"Where's the naughty boy who switched off the sound? I cut my prayer just for you."
Itulah kata-kata pertama yang terlontar dari mulutnya saat melihat saya dan Ken menghampirinya. Untungnya perkataan tersebut dikeluarkan sambil bercanda dan diiringi senyum yang hangat dan ramah dari mulutnya. Dia tahu bahwa Ken adalah pelaku aksi mematikan sound karena saat itu hanya Ken lah anak yang berdiri di dekat TKP. Untungnya lagi, dia sudah mengenali Ken karena saya beberapa kali memang mebawanya ke masjid untuk shalat. Setelah itu kami bersalaman dan berpelukan. Tidak ada petuah nasihat ataupun kata-kata marah yang keluar dari mulutnya untuk saya ataupun Ken. Padahal dia sampai menghentikan shalatnya dan harus menambah satu rakaat lagi ketika semua jamaah sudah selesai melaksanakan shalat. Aaaah, such a big heart! Saya tidak tahu bagaimana nasib saya dan Ken kalau ini kejadian di masjid-masjid di Jakarta pada umumnya.


Pose favorit saya kalau sudah mulai kelelahan menggendong Ken dengan satu tangan
Demikianlah pengalaman saya membawa Ken untuk melakukan shalat Ied pertama kali dalam hidupnya. Saya tidak boleh kapok. Namanya membawa anak ke masjid, pasti ada saja cerita lucunya. Soalnya kalau tidak membiasakannya sedari kecil, mau tunggu sampai kapan? Semoga saja anak-anak kita sudah menumbuhkan kecintaannya terhadap masjid sejak dini karena kita sering membiasakannya untuk datang ke masjid. Nah, bagaimana dengan pengalaman bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian?

Puasa pertama kali di UK euy!

Ramadan kali ini sedikit berbeda.

Meski masih menjalani puasa bersama istri dan anak terkasih, saya tak lagi melaluinya di ibukota negara Indonesia tercinta. Alhamdulillaah, tahun ini saya mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di Inggris Raya sehingga harus merasakan pengalaman puasa yang benar-benar baru. Sebelum berangkat ke kota Bristol ini, saya hanya sering mendengar bagaimana manis-pahitnya (beh!) menjalani bulan Ramadan di negara-negara Eropa. Katanya sih memang ada cerita dan tantangannya tersendiri.

Pada hari pertama di bulan Syawal ini, saya akan coba sedikit sharing mengenai hal-hal berkesan apa saja yang saya alami selama menjalani puasa 29 hari di salah satu kota di UK ini. Semoga bermanfaat! :)


1. 18 JAM TIDAK MAKAN DAN MINUM

Karena bulan Ramadan kali ini jatuh pada musim panas, otomatis durasi berpuasa di sini jauh lebih panjang jika dibandingkan di Indonesia. 18 JAM! Tidak tanggung-tanggung. Selama ini di Jakarta, saya hanya biasa berpuasa dari sekitar jam 4 subuh sampai kira-kira jam 6 waktu maghrib. Namun kali ini di Bristol, waktu puasanya jauh bertambah. Sekitar jam 3 dini hari sudah masuk waktu subuh dan maghrib kurang lebih jatuh pada jam setengah 10 malam. OMG!

Jadwal Shalat selama Ramadan di Bristol

Pada hari-hari pertama, saya merasa seperti kembali menjadi bocah anak SD kelas 1 yang baru belajar berpuasa dan setengah hari sudah minta minum pada orangtuanya. Seperti yang kita tahu, kebanyakan orang masih sanggup bertahan tanpa makan 1 hari, namun untuk urusan minum? Susah euy. Apalagi di sini tidak ada es cendol, es kelapa, dan sirup marj*n yang dapat mengobati raungan dahaga selama berpuasa di siang hari ketika waktu berbuka tiba. Untungnya pada minggu-minggu pertama Ramadan, cuaca di sini masih sedikit bersahabat sehingga saya masih bisa bertahan puasa sampai waktu maghrib yang ditentukan. Ya iyalah~

Tantangan yang cukup berat sebenarnya adalah pada 10 hari terakhir. Selain waktu maghrib yang makin mundur, saya merasa cuaca Jakarta diimpor sementara ke dalam Inggris. Keluarga saya di Indonesia pun sampai kaget ketika saya bilang 3-4 hari terakhir cuacanya bisa mencapai 32-33°C! Tentu saja perasaan rindu akan minuman-minuman segar yang dijajakan di pinggir jalan di sekitar rumah semakin memuncak. Namun karena ini bulan yang penuh keberkahan dan banyak keutamaan, saya harus bisa menahan diri dan berusaha tegar.

Dan satu lagi yang perlu diingat, bahwa di atas langit masih ada langit. Seperti di Finlandia, waktu puasa pada musim panas begini bisa mencapai 21 jam!

2. WAKTU TIDUR YANG BERANTAKAN

Kalau kata orang zaman dulu, janganlah kita tidur setelah subuh dan ashar. Tidak baik katanya. Baik dari segi jasmani maupun rohani kejiwaan kita. Ya, memang begitu teorinya. Terkadang kita sering pusing jika bangun setelah tidur pada waktu-waktu tersebut. Dan kadang ditambah perasaan bersalah karena tidur di waktu yang tidak tepat. Tetapi pada situasi Ramadan kali ini, rasanya agak mustahil untuk menjalankan petuah berfaedah tersebut.

Bayangkan saja, jeda waktu antara isya dan subuh hanya sekitar 4 jam! Apalagi dengan ikut tarawih berjamaah di masjid dekat rumah yang selesainya sekitar jam setengah 1 dini hari. Dan khusus untuk 10 hari terakhir, waktu selesainya kurang lebih bertambah satu jam. Jarang sekali kami mau mengambil resiko untuk tidur karena takut tidak bangun saat sahur dan kebablasan subuh. Mau tidak mau, saya sekeluarga biasanya baru bisa tidur dengan nyenyak setelah sholat subuh, yakni sekitar jam 4 pagi. Tapi ya tentu berbeda rasanya dengan tidur berkualitas di malam hari. Selama apapun kita tidur di pagi hari, kondisi tubuh saat bangun terasa lemas dan tak fit.

Dan rutinitas ini lah yang menjadi kebiasaan baru kami di bulan puasa ini. Tidur sehabis subuh!

3. TARAWIH PERDANA DI BRISTOL

Berhubung aktivitas kuliah sudah sedikit mereda, saya bisa menjalankan ibadah tarawih dengan lebih optimal jika dibandingkan saat bekerja di Jakarta dulu. Kalau dulu, terkadang pulang dari kantor, sholat tarawih di masjid dekat rumah sudah selesai. Kalau mau pulang agak cepat dan teng go, kemungkinan akan buka puasa di perjalanan karena terjebak macet berkepanjangan. Sedangkan di sini, karena pada waktu sore dan malam hari saya hampir pasti ada di rumah, saya bisa merutinkan ibadah tarawih secara berjamaah di masjid. Mau alasan apa lagi, cuman 5 menit jalan kaki jaraknya dari rumah!


Apa yang berbeda dengan tarawih di sini? Jumlah rakaatnya 8, ditambah witir 3 rakaat. Dilaksanakan dengan 2 kali salam dan diakhiri dengan 2 + 1 rakaat witir. Bacaan imamnya tergolong yang cukup panjang dan tak terlalu merdu. Saya membayangkan masjid ini pastilah bukan jadi masjid favorit kalau berada di Jakarta dan sekitarnya. Sekilas memang nampak sama, tapi ada satu hal yang sangat berkesan bagi saya.

Biasanya, setelah melewati rakaat demi rakaat tarawih yang begitu panjang, kita agak happy kalau sudah memasuki rangkaian rakaat shalat witir. Bagaimana tidak, imam disunahkan untuk membaca surat-surat pendek pada shalat ini. Begitu pun dengan saya pada hari pertama. Rakaat pertama dan kedua witir berlalu tanpa hambatan berarti.

"Ah, sebentar lagi selesai nih." dalam pikiran saya pada rakat terakhir.

Namun ternyata.....

DOA QUNUT PADA SAAT I'TIDAL LAMANYAAAAAAAA MASYA ALLAH!

Tahukah kalian, doa qunut di sini bisa mencapai sekitar 10 sampai 15 menit. Yap, hanya doanya saja! Dan beruntungnya lagi, pada sepuluh hari terakhir durasi qunutnya bisa sampai 30 MENIT, terutama di malam-malam ganjil. Inilah yang mengabitkan selesai shalatnya bisa sampai jam setengah 2 dini hari (selain diperpanjangnya ruku' dan sujud selama tarawih). Semacam lebih pegal dibandingkan dengan latihan paskibra jaman SMA dulu. Bagi saya yang biasa tarawih di masjid dekat rumah atau kantor, ini merupakan hal yang sangat baru! Namun mulai pada hari kedua dan seterusnya, saya sudah menyiapkan stamina dan mental untuk berdiri dengan kuat pada rakaat terakhir shalat witir.

4. COBAAN MUSIM PANAS

Seperti yang saya singgung sebelumnya, Ramadan kali ini jatuh pada permulaan musim panas di UK. Walau secara keseluruhan cuacanya masih bisa dibilang bersahabat (sejuk berangin), ada rentang waktu sekitar 4-5 hari dimana derajat termometer meningkat drastis! Bagi orang Jakarta, mungkin ini hal biasa. Namun bagi kami yang berpuasa 18 jam di sini, hal ini merupakan cobaan! Apalagi matahari di sini terasa lebih terik dan menyengat.

Walaupun begitu, bagi saya cobaan puasa pada musim panas yang sebenarnya bukan pada cuaca dan suhunya, tetapi pada pakaian-pakaian perempuan yang berseliweran di jalan. Karena sepertinya kepanasan, mereka seringkali memakai pakaian yang saaaangaaaaaaaaaat minim dan kekurangan bahan. Dan pemandangan ini selalu saya temukan jika keluar rumah di hari-hari yang cukup panas. Di situ kadang saya merasa bingung harus mengucap hamdalah, istighfar atau keduanya. Tak perlu lah saya deskripsikan dengan detil bagaimana model pakaian mereka karena dapat menggoda iman para pembaca sekalian yang laki-laki. Gadhul bashar, akhi! ;)

---

Alhamdulillaah. Tantangan puasa pertama kali di Inggris Raya yang penuh warna bagi kami telah terlalui. Meski saya merasa masih banyak kekurangan dalam menjalaninya, saya harus tetap bersyukur. Ada beberapa targetan pribadi yang tercapai, ada pula yang tidak. Ada hal-hal yang saya rasa lebih baik dibanding Ramadan sebelumnya, ada pula hal-hal yang malah menurun. Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama bagi saya sendiri untuk terus memperbaiki diri.

Eid Mubarok!
Memasuki hari kemenangan di bulan Syawal ini, saya sekeluarga mengucapkan Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Allah menerima amalan kami dan kamu sekalian. Mohon maaf lahir batin dan Eid mubarok!



Kamis, 15 Juni 2017

Lagi-lagi Tentang Masjid dan Anak

Beberapa hari belakangan, ramai terdengar diskusi mengenai keterkaitan masjid dan anak di media sosial. Berbagai orang mencoba untuk mengutarakan pendapatnya. Entah itu sekedar status satu-dua kalimat ataupun tips-tips yang dapat dipertimbangkan oleh para orangtua untuk mulai mengajarkan anaknya kenal dan akrab dengan masjid. Tulisan yang saya buat ini pun salah satunya.

Hanya ingin sharing mengenai apa yang saya lihat dan alami sendiri terkait topik 'masjid dan anak' di sini, di Bristol. Kota dimana saya menimba ilmu saat ini.

Semoga bermanfaat. :)


Masjid di Bristol?

Tidak banyak masjid di kota ini. Selain komunitas muslim yang memang bukan mayoritas, Bristol bukan kota yang besar seperti London. Namun alhamdulillaah, flat tempat kami tinggal saat ini terhitung sangat dekat dengan salah satu masjid komunitas Arab. Saya bisa menjangkaunya hanya dengan berjalan kaki sekitar 5 menit. Tidak jauh berbeda dengan saya berjalan kaki dari rumah orangtua di Bekasi/Jakarta menuju masjid terdekat, wow!

Namanya As Sahaba. Estimasi kasar saya, masjid ini bisa menampung sampai 300 - 400 jamaah sekaligus untuk melaksanakan sholat berjamaah. Terdapat dua lantai di masjid ini, lantai bawah untuk laki-laki dan lantai atas untuk perempuan. Namun sayangnya, saat ini luas tempat sholat perempuan tidak sampai seperempat luas tempat sholat laki-laki. Renovasi dan perluasan masih menjadi impian pengurus masjid yang belum bisa terlaksana. Meski penampakan luarnya tidak seperti masjid kebanyakan - lebih mirip rumah atau gudang penyimpanan - interiornya dapat membuat kami para jamaah cukup nyaman untuk beribadah di dalamnya. Paling tidak itu yang saya rasakan selama ini.

Kondisinya setiap hari? Kurang lebih sama dengan masjid yang biasa kita jumpai di Jakarta. Tiga sampai empat shaf jika sedang ramai, biasanya saat maghrib dan isya saja. Namun saat bulan Ramadan seperti sekarang ini, kondisinya saat malam hari hampir-hampir seperti sholat Jumat. Apalagi alasannya kalau bukan sholat tarawih buka puasa gratis. :p


Masjid dan Anak

Dari sebelum masuk bulan Ramadan, saya perhatikan terkadang beberapa jamaah datang membawa anak-anaknya untuk sholat di sini. Tidak banyak memang, biasanya hanya ada satu atau dua anak per satu kali sholat. Lima anak sudah paling banyak. Rentang usianya bermacam-macam, mulai dari kisaran 1.5 tahun hingga 4 atau 5 tahun. Cara para orangtua ini pun bermacam-macam ketika sedang sholat sambil membawa anak. Berikut beberapa aliran yg dapat ditemui:

1. Sholat dan meminta anak berdiri di samping untuk mengikuti gerakan sholat. Saya pikir ini yang paling ideal, anak jadi belajar praktik langsung bagaimana melakukan sholat. Setidak-tidaknya, dia akan duduk diam dan kita jadi bisa lebih konsentrasi untuk sholat. Catatan penting, sang anak harus sudah bisa mengendalikan dirinya untuk tidak wara-wiri dan tetap menempel pada orangtuanya. Saat ini, aliran ini masih menjadi ANGAN-ANGAN SEMATA bagi saya.

2. Sholat dan membiarkan anaknya bermain di belakang shaf. Para orangtua yang melakukan ini biasanya membawa lebih dari satu anak. Asumsi saya, mereka ingin membuat suasana yang nyaman terlebih dahulu bagi anak-anaknya di masjid sehingga membiarkan mereka berlari-larian di belakang selama sholat. Orangtua dapat sedikit melonggarkan pengawasan karena sang kakak sudah dapat diminta untuk mengawasi adiknya untuk tidak aneh-aneh. Anak-anak happy, orangtua semoga khusyu' dalam sholat. 

3. Sholat dan membiarkan anaknya bermain di tempat yang masih bisa diawasi tanpa menoleh ke belakang selama sholat berlangsung. Biasanya para orangtua golongan ini membekali anak dengan mainan ataupun handphone agar anak tenang selama sholat. Uniknya, salah satu imam masjid ini pernah melakukannya. Dia membiarkan anak perempuannya duduk di sebelahnya sambil menonton video di handphone selagi dia memimpin sholat berjamaah. Bahkan saat Ramadan ini, ada yg membiarkan anaknya main catur di dalam masjid selama tarawih berlangsung. Wow.

4. Sholat sambil menggendong anak. Saya termasuk pengikut mazhab ini. TADINYA. Karena Ken (anak saya), sudah makin besar dan tak bisa diam akhirnya pelan-pelan saya beralih, mau tak mau. Saat ini, saya masih sedang dalam masa pencarian (trial error) yang sesuai dengan tingkah laku Ken. Mungkin lain kali saya akan cerita lebih detil soal ini. Biasanya, teknik ini dilakukan bagi orangtua yg membawa bayi atau anak di bawah usia 2 tahun.

Bagaimanapun gaya para jamaah ini (termasuk saya) membawa anak mereka ke masjid, hampir tidak pernah saya meihat ada jamaah lain ataupun pengurus masjid yang memarahi anak-anak tersebut karena bikin keributan atau berlari-larian di masjid. Baik ketika ada orangtuanya ataupun tidak. Padahal kita tahu yang namanya anak-anak, pasti ada saja tingkah dan kelakuannya. Saya ingat hanya pernah satu kali kejadian ada tiga orang anak yang ditegur oleh pengurus masjid di sini. Namun bukan karena mereka bermain dan berlari-larian di dalam masjid, melainkan karena mereka merusak gorden yang belum lama dipasang untuk mebatasi shaf. Wajar.

Dari apa yang saya lihat sejauh ini, muncul kesimpulan sementara, "mungkin masjid ini memang ramah anak ya.".


Ramadan, Masjid, dan Anak

Memasuki bulan Ramadan, masjid semakin ramai. Shaf-shaf terisi penuh. Jamaah dari berbagai kalangan dan usia berbondong-bondong datang untuk memakmurkan rumah ibadah umat Islam di bulan yang penuh keberkahan ini. Suasananya tidak kalah dengan masjid-masjid di Jakarta. Hanya sayang, tidak ada tukang cilok dan kue cubit yang ngetem di depan masjid di sini. Aih, rindu!

Saya pikir saat Ramadan, situasinya akan tetap sama. Anak-anak tak ada yg ditegur, sholat tetap berlangsung selagi anak-anak bermain tak terawasi. Namun ternyata tak sepenuhnya begitu.

Pada hari-hari pertama, seorang bapak yang saya yakini adalah ketua DKM di sini beberapa kali mengingatkan di sela-sela sholat isya dan tarawih,

"Please don't put your children on the back and let them play, put them beside you instead. They come here to learn, not to play!"

Namun, beliau juga menambahkan bahwa anak-anak pastilah sulit untuk dikendalikan dan diminta tenang selama sholat berlangsung. Apalagi dengan bacaan imam yang begitu panjang syahdu dan menenangkan. Tapi yang penting adalah bagaimana usaha dari kita, para orangtua, untuk mengajari anak-anak kita mengikuti sholat berjamaah, bukannya membiarkan mereka bermain sedari awal sholat dimulai.

Pernah pada suatu hari, keributan anak-anak selama sholat tarawih berlangsung tak dapat ditolerir lagi. Akhirnya, sang ketua DKM berdiri dan menegur keras para ORANGTUA sambil meminta mereka untuk dapat mengendalikan anak-anaknya dengan lebih baik. Menariknya, beliau memilih untuk tidak memarahi anak-anak tersebut dan tetap ramah ketika menyapa dan berbicara dengan mereka.

----

Dari pengalaman tersebut, ada beberapa pelajaran yang setidaknya bisa saya ambil.

1. Mengenalkan anak dengan masjid sedini mungkin itu sangat baik. Tapi ada baiknya kita perlu mempersiapkannya dengan matang sebelum melaksanakannya. Jangan sampai, anak datang ke masjid hanya untuk bermain. Meski pelan-pelan, mari kita ajari anak untuk bisa mengikuti gerakan sholat. Dengan catatan, pastilah tak bisa instan!

2. Pemilihan masjid juga menjadi pertimbangan yang perlu dipikirkan jika ingin mulai mengenalkan anak dengan masjid. Apakah jamaahnya cukup toleran terhadap tingkah laku anak-anak? Apakah ruang sholatnya cukup luas sehingga membuat anak nyaman dan tidak mengganggu jamaah lain ketika sedang sholat? Jangan sampai anak malah jadi antipati dengan masjid karena sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan (misal: dimarah-marahi) di sana.

3. Memarahi anak karena mereka ribut di dalam masjid bukanlah tindakan yang bijak. Sudah pasti mereka belum memiliki pemahaman seperti apa yang diketahui oleh orang dewasa. Mereka masih lah menjadi tanggungan orangtuanya. Dengan memarahi anak, mungkin sholat berjamaah memang menjadi lebih kondusif sesaat. Namun kita tidak mau kan lima sampai sepuluh tahun mendatang masjid-masjid kehilangan jamaah karena generasi mudanya tumbuh tanpa mendapatkan kenyamanan dan rasa aman di masjid akibat sering dimarahi ketika kecil?

4. Manusia hanya bisa berikhtiar, namun Allah lah yang menentukan hasilnya. Orangtua hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan anak-anaknya selama di masjid, namun Allah lah yang menentukan apakah mereka bisa diam mengikuti sholat atau malah bermain tak jongkok di dalam masjid. Ah, tapi itulah seninya menjadi orangtua!

5. Kelima dan terakhir, kita perlu ingat bahwa masjid tidak hanya hadir pada saat Ramadan saja. Mari kita coba kenalkan masjid pada anak di bulan-bulan lainnya pula!

Sekian tulisan singkat dan berbagi pengalaman ini. Mohon maaf jika ada kesalahan, perbedaan, maupun kesamaan pemdapat. Semoga bermanfaat.




Catatan:
Penulis merupakan seorang ayah yang juga masih berusaha keras mengenalkan anaknya dengan masjid. :)